pilh lagu


MusicPlaylist

Kamis, 19 Juni 2008

Menebak Masa Depan

Banyak yang bilang kalau masa depan itu di tangan tuhan. Ada juga yang bilang masa depan itu di tangan kita. Mana yang benar?
Sudah tiga hari ini aku bermimpi buruk. Bukan tanggung-tanggung, tentang kematian. Aku bermimpi, tanah -tanah menumpuk diriku, dan yang membuatku merinding aku memakai kain pocong!
Siapapun tahu dimana tempat itu, bahkan anak kecil pun tahu.
Aku kembali ke sarapan pagiku yang mulai dingin. Nasi goreng buatan Ibuku. Ibuku yang hanya Ibu rumah tangga terus menatap heran diriku.
"Kok gak dimakan?, nanti kamu dapet sial loh."
Aku hanya terdiam mendengar kata-kata yang tak mengenakan itu. Aku terus menatap makananku, dan menghabiskan sendok per sendok nasiku.
Aku pun pergi ke sekolah, seperti biasa. Motor Supra-x ku telah kupanaskan selama tiga menit, dan melaju ke sekolahku yang dapat ditempuh dalam sepuluh menit.
Beberpa menit kemudian, motorku yang selalu tidak menimbulkan masalah itu, tiba-tiba mati. Dan mendadak tak bisa dihidupkan.
Sial! bentar lagi telat!
Aku memnita seorang pria tua yang sedang duduk, tak jauh dari motorku, membantuku. Dia menatapku terus menerus, tetapi tidak menatap motorku.
"Pak, bisa minta tolong nih, motorku..."
Pria itu berjalan mendekatiku dengan berjalan tergopoh-gopoh.
"Ini...tadi tiba-tiba mati."
Ia hanya memandangiku. Mengambil kunci motor, dan membuka jok untuk mengambil obeng. Aku tak tahu bagaimana ia bisa tahu ada obeng di balik jok motorku.
"Apanya yang rusak pak?"
Aku tak tahu apa yang dipikirkannya, sementara aku terus berbicara, dan dia terus terdiam sembari megutak-atik motorku.
Dan tiba-tiba saja motorku hidup melalui tangan pria tua aneh ini, ia pun langsung pergi entah kemana, sebelum aku mengucapkan terima kasih. Aku tak terlalu memikirkan tentang dia. Langsung saja aku memacu gasku menuju kesekolah.
Aku sudah berada di depan pagar sekolahku yang telah terkunci.
Inikah kata ibuku tadi? Omong kosong!
Aku memanggil satpam untuk membuka pintu pagar, satpam itu meingizinkan aku masuk, setelah aku menandatangani surat terlambat, dimana aku tidak boleh terlambat lagi, hingga sebulan kedepan.
Tak hanya sampai disana kesialanku. Saat aku di pintu kelasku, aku melihat ke dalam dan ternyata kelas baru saja dimulai. Dan yang aneh, ia guru baru yang tak aku kenal.
"Maaf Pak, saya terlambat.", aku berbicara dari pintu kelas dan memandangi teman-teman satu kelasku yang sedang hening itu, seperti habis dimarahi guru baru ini.
"Anda murid saya?", pria yang berjanggut itu sepertinya keturunan Arab.
"Ya pak..", aku menjawab dengan tegas.
Dia mengajukan pertanyaan aneh.
"Siapa namamu?. Apa agamamu?. Siapa Tuhanmu?. Siapa Nabimu?"
Aku terdiam, dan bingung setengah mati.
Apa maksudnya?
"Aku...aku.."
"Kau keliatannya tidak bisa menjawab, silakan masuk ke kelas yang panas ini.", ia langsung memotong pembicaraanku.
Aku pun langsung duduk ke bangkuku. Dan memulai pelajaran Fisika itu.

Jam sekolahpun usai, aku bergegas pergi ke parkiran motor, dan bergegas menuju ke tempat kursus. Aku mengambil tasku dan membuka bagian tas paling luar, mengambil kunci motorku.
Tidak ada?
Aku kebingungan mendapati kunci motorku tidak ada di tempat biasanya. Aku mengingat-ingat dimana terakhir kali aku meletakan kunci itu. Akupun bertanya kepada ketua kelas.
"Gung, liat kunci motorku gak?"
Agung terlihat heran.
"Kalo itu motorku, bearti aku punya kuncinya.", ia pun meninggalkan kelas bersama murid lainnya.
Dimana ya?...tadi...
Roni menepuk punggungku dan aku terkejut.
"Eh Ron, liat kunci motorku?, yang ada bonekanya."
Roni sepertinya memikirkan sesuatu.
"Gak tau ya. Kata orang barang yang hilang di tempat yang lo inget, dan mendadak hilang .Katanya disembunyikan sama malaikat pencabut nyawa, trus kalo kamu nyari barang itu, kamu mendekati kematian!" Roni menunjukan raut muka yang serius.
Aku pun tersenyum gugup.
"Ayo kita ambil kunci cadangannya, tapi isiin bensin ya!", Roni tertawa.
"Sial lo Ron!"

Akupun kembali ke rumah bersama Roni. Aku merasa banyak hal yang aneh terjadi hari ini, terutama selama tiga hari ini.
"Ron, kamu bisa nafsir mimpi gak?"
Roni tidak menoleh, tetapi menjawab.
"Waduh...tergantung mimpinya, apa dulu. Kamu mimpi apa semalem?"
Aku menarik nafas dan menceritakan mimpi aneh itu.
"Selama tiga hari ini, aku bermimpi, aku..."
Tiba-tiba sebuah mobil pickup dari arah berlawanan, menabrak motor kami. Aku terlempar beberapa meter dan tak sadarkan diri.

Beberapa detik aku tersadar, hanya melihat dirku dikubur oleh timbunan tanah, kudengar ada beberapa orang yang kukenal menangis, dan aku melihat aku berpakaian putih.
Dan aku lihat ada sepiring nasi dihadapanku.
"Kok gak dimakan?, nanti kamu dapet sial loh."
Aku tersadar dari lamunanku.
"Sial?. Tergantung orang yang memahaminya..."
Aku menghabiskan sarapanku dengan cepat dan segera berangkat ke sekolah.



Rocker Pemula

Yang dipikrkan Firman adalah musik, musik, dan musik. Hal yang selalu disukainya adalah musik rock jaman dulu (jadul), termasuklah di dalamnya Bad Company, Alice Cooper, The Who, dan lain-lain.
"Tidak ada aliran sehebat, seawet, sepopuler, dan sekeras rock". Begitulah apa yang dikatakannya tentang musik rock.
Aku selalu saja merasa capek dengan kelakuannya, setiap hari aku harus menjemput pria kurus ini ke kampus. Bukan hanya menjemput, tapi juga menunggu dia berdandan ala rocker. Aku juga sering menyesal kenapa aku kenal dia, kenapa aku harus mendapatkan teman pertamaku di kampus yang ternyata rocker ambisius.
Firman mempunyai grup band, yang bernama "popstar". Nama grup bandnya agak menggelitik, namun cerdas.
"Kok popstar sih?", tanyaku.
"Karena pop lebih populer ketimbang rock.", jawabnya santai.
Popstar sering naik panggung pada beberapa kegiatan kampus. Aku akui kualitasnya sebagai vokalis sangat sepadan dengan bentuk tubuhnya, tinggi.
Suaranya yang melengking, menari-nari diatas oktaf yang tinggi.
Sangat disayangkan, personel lainnya tidak mendukung peforma Firman. Terkadang sang gitaris, suka memainkan atau memasukan melodi fals. Dan yang terakhir aku dengar sang gitaris dipecat oleh Ahmad Dhaninya band ini.
"Theo gak salah.", katanya saat selesai manggung pada kegiatan mahasiswa baru.
"Tapi tadi terlalu salah.", hawa panasnya keluar semabari menikmati sekaleng bir.
Ia memcat Theo hanya beberapa menit setelah manggung. Dia hanya berkata, "Cobalah kenalin posisimu dalam band ini ke penonton, mereka pasti bingung. Besok-besok ya aku kenalin ke penonton".
Theo tahu sewaktu-waktu Firman akan memcatnya.
"Aku nge-band ama dia lagi?, masih enak aku ngamen."
Firman seringkali curhat kepadaku tentang masalah bandnya kepadaku. Saking seringnya, aku selalu mendapat pertanyaan yang sama.
"Apa ya yang salah ma aku?", ia mengajukan pertanyaan yang klise.
Mungkin cara berpakaianmu.
"Cuma kamu yang tahu.", jawabanku begitu lepas hingga ia mengalihkan pandangan, dan terlihat tidak puas denganku, walaupun nasi telur di warung padang itu tidak enak.
"Apa yang terbaik, yang bisa aku lakuin sama band ini?, band ini gak bisa maju kalau tanpa aku!", ia terlalu menggebu-gebu.
"Lakukanlah, serius, dan tiru para rocker sukses, gimana mereka bisa hidup dari musik rock."
Saranku ini seperti membelokan setir mobil dengan tiba-tiba. Merubah dirnya, dan hidupnya.
Hingga suatu hari, setahun setelah insiden pemecatan terhadap Theo. Kampus kami kembali mengadakan acara welcome party untuk mahasiswa baru. Acara yang paling dinanti adalah Band Peformance.
"Terima kasih kepada panitia, temen temen yang menyaksikan acara ini, selamat datang kepada mahasiswa baru. Sebelumnya kami berterimakasih sebesar-besarnya kepada seorang yang telah memberikan inspirasinya hingga akhir hayatnya, Firman. Semoga almarhum diterima disisinya."
Tempo pelan dan nada masuk lagu ciptaan kami, Rocker Pemula telah dimulai. Firman membuat lagu ini sebelum dia overdosis heroin. Sebagai rocker pemula, ia benar-benar menginspirasi.

Jangan Lihat Ke Belakang

Sarah Viona terus berlari ke ujung lorong sekolahnya, ia terus mendekati tembok jauh itu. Ia tahu, seorang pria mengejarnya dengan penuh kebrutalan.
"Tuhan, tolong aku..."
Sarah berteriak dalam hati, sembari tubuhnya dibasahi, ratusan tetes keringat.
Ia menoleh ke belakang, melihat seorang pria berumur, sekitar tiga puluh tahunan, terlihat mabuk.
Biarpun siang hari, kegelapan di lorong-lorong kelas itu membuat garis dan raut muka pria itu menjadi tidak jelas.
Sarah terhenti di ujung lorong lantai dua gedung sekolah itu. Ia tahu bahwa ujung lorong itu adalah sebuah tembok, tidak ada jalan lain. Jalan lain adalah tempat dimana pria itu datang.
Sarah mendapati ruang kelas, di kiri dan di kanan. Namun, percuma saja.
Pasti terkunci.
Pria itu sudah semakin dekat. Dari kejauhan, ia mengenali bahwa pria itu adalah kuli bangunan yang disewa untuk mengerjakan sebuah proyek gedung baru. Dan ia mabuk.
"Apa maumu?!"
Seluruh sudut lorong menggemakan suara Sarah yang melengking. Namun, pria itu hanya membisu.
Di tengah ketakutan dan kecemasannya, ia teringat dengan handphone-nya, ia mengambil dari saku rok pendeknya yang ketat. Ia terlalu gugup untuk memilih nomor untuk dipanggil. Nyatanya handphone itu dilemparkan ke pria itu.
"Ini ambil, pergi! Jangan ganggu aku!"
Pria itu telah berada sangat dekat. Namun ia terhenti setelah melihat sebuah handphone terlempar tepat di kaki kanannya. Ia mengambil handphone itu.
"Pergilah, jangan lihat ke belakang."
Suara pria itu serak, hanya beberapa kata yang didengar Sarah.
Pergilah?
Sarah berjalan melewati tubuh kurus tinggi pria itu, sementara pria itu hanya memandangi handphone tadi.
Sarah tak berani menatap wajah pria itu dan terus berjalan ke arah dimana ia datang.
Di pikirannya, berputar-putar kata-kata pria tadi.
Jangan lihat ke belakang?
Sarah mencoba menoleh kebelakang, dan menarik nafas yang dalam, rambutnya yang panjang terbelai seiring dengan tatapannya yang berubah.
"Kenapa kau melihatku?"
Pria itu telah berada di depan mata Sarah.